saco-indoneia.com, CARA MERAWAT AC RUMAH juga sangat penting diketahui karena tidak dapat dipungkiri lagi di zaman sekarang ini
saco-indoneia.com, CARA MERAWAT AC RUMAH juga sangat penting diketahui karena tidak dapat dipungkiri lagi di zaman sekarang ini AC juga sudah digunakan oleh semua kalangan, dari kalangan atas sampai kalangan bawah. Hal ini juga dikarenakan kebutuhan sesuai dengan perkembangan zaman dan juga ditunjang dengan harga yang semakin terjangkau. Akan tetapi dengan adanya harga yang terjangkau, alias lebih murah. Dengan sendirinya kualitaspun juga akan berkurang. Untuk itu harus diperlukan cara untuk merawat ac rumah, supaya bisa merawat AC sendiri, agar AC tetap dapat berfungsi sebagai mana mestinya. Untuk orang yang berduit masalah perawatan tidak menjadi masalah, beda dengan yang agak kurang keuangannya, untuk itu di sini ada tips untuk dapat mengurangi biaya perawatan sehingga AC tetap dapat berfungsi dan biaya bisa dikurangi.Dengan mengikuti CARA MERAWAT AC RUMAH maka ikuti berikut ini, mudah-mudahan biaya bisa lebih ekonomis.
Langkah pertama:
AC split terdiri dari 3 bagian : indoor, outdoor, remote control. Bukalah tutup indoor, dan disitu akan didapati filter/saringan, dan ambilah filter tersebut, kalau kotor cucilah sampai bersih (hati-hati jangan sampai rusak). lakukan hal ini paling tidak sebulan sekali. Karena ini merupakan inti dari CARA MERAWAT AC RUMAH
Setelah dibuka filter/saringann maka akan dapat terlihat evaporator. Perhatikan evaporator tersebut, kalau sudah kotor harus segera dibersihkan. Adapun untuk dapat membersihkan evaporator harus dengan menggunakan alat tersendiri yaitu steam ac. Sebelum menggunakan alat ini kita harus mengamankan modul yaitu dengan menutupnya dengan plastik atau sejenisnya supaya tidak terkena air. Sedangkan modul letaknya ada di sebelah kiri evaporator. Nah daripada susah-susah apalagi tidak punya alatnya, lebih baik panggil tukang service yang bisa dipercaya.
Langkah kedua :
Periksa outdoor, singkirkan benda apapun yang telah mengganggu sirkulasi udar, karena akan dapat mempengaruhi kondensasi sehingga AC kurang dingin. Lihatlah pipa yang telah menempel pada outdoor. disitu juga ada dua pipa. Pipa besar dan pipa kecil. Apabila pada pipa kecil terlihat fros/bunga es, itu salah satu tanda froen berkurang dan harus segera ditambah, dalam hal ini juga akan dilakukan oleh yang berpengalaman dalam menangani hal ini. Panggil saja nomor telepon diatas.
Langkah ketiga :
Matikan AC dengan segera pada saat tegangan listrik turun. Untuk dapat mengetahui tegangan listrik itu turun bisa dilihat dengan melihat lampu yang biasanya nyala terang tapi saat tegangan turun lampu akan nyala kurang terang/redup. Selamat mencoba CARA MERAWAT AC RUMAH ini semoga bisa menjadikan AC rumah anda dingin kembali
PERHATIAN :
Kebersihan AC haruslah selalu dijaga, karena akan dapat mempengaruhi listrik yang digunakan. AC yang selalu bersih pemakaian listriknya lebih irit dibanding AC yang kotor. Hal ini juga dikarenakan AC yang kotor akan susah untuk mencapai titik dingin suatu ruangan sesuai dengan suhu yang diinginkan sehingga kompresor akan hidup terus menerus. Berbeda dengan AC yang bersih< dalam waktu tertentu akan mencapai titik dingin yang diinginkan sehingga kompresorpun akan berhenti bekerja, sehingga arus listrik yang digunakan sangat kecil. Maka penting untuk dapat memperhatikan langkah demi langkah yang ada di dalam CARA MERAWAT AC RUMAH
Editor : Dian Sukmawati
Tujuh tahun menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Korea di Korea, benar-benar tidak disia-siakan oleh Mugiyanto, yang umurnya
Tujuh tahun menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Korea di Korea, benar-benar tidak disia-siakan oleh Mugiyanto, yang umurnya sudah tidak terbilang muda.
Bapak satu anak yang tinggal di Dusun Silowan, Kelurahan Pager Sari, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah ini merasa cukup mengais modal dengan tiga tahun menjadi buruh bimbel (1997-2000), dan empat tahun menjadi buruh tekstil (2005-2009). Setelah itu, ia menekuni bisnis pembuatan batako, paving, bis beton, kolong selokan, dan lain-lain.
Sekitar tujuh tahun menjadi TKI merupakan waktu yang sangat singkat sekali dalam mencari modal. Oleh karena itu, ia tidak membuang-buang waktu yang relatif singkat tersebut untuk bekerja dan menabung.
Mengapa ia tidak membuang-buang waktu? Sebab, Mugiyanto setelah mendarat di tanah Air akan menjalani usaha sendiri.
Mugiyanto menjelaskan, untuk melakoni bisnisnya tersebut modal yang dibutuhkan mencapai ratusan juta. Modal tersebut dikucurkannya untuk membeli tanah tempat produksi dan gudang sederhana sebesar Rp90 juta. Untuk peralatan dan mesin cetak batako, bis beton, dibutuhkan modal sebesar Rp45 juta. Membeli dua unit truk kecil untuk mengantar produk pesanan dan operasional diperlukan uang sebesar Rp100 juta. Nah, itu belum terhitung bahan-bahan, seperti pasir, semen, dan sirtu.
Jadi, dalam membuka usahanya, ia menyiapkan modal kurang lebih sebesar Rp225 juta. "Semua uang saya peroleh dari menabung selama menjadi TKI di Korea," ujarnya.
Kini, usahanya berjalan maju. Mugoyanto mengaku dirinya mampu meraup untung sebesar Rp5 juta hingga Rp 7 juta per bulannya. (*DI)
'Mugiyanto, Mantan TKI yang Sukses Jadi Pengusaha Batako ':
Artikel Bisnis Lainnya
Mengapa Teman Sekelas yang Lebih Muda Lebih Sukses Pernahkah Anda merasa tersaingi dengan seseorang yang usianya tak lebih tua dari Anda, bahkan lebih muda tetapi telah berada setingkat dengan Anda? Anda bisa menemukan orang-orang seperti ini di berbagai kesempatan, seperti di kelas saat Anda masih sekolah dulu, atau kuliah atau ... Artikel Bisnis
Kisah Jatuh-bangun Pemilik Corner Kebab Sebagai pebisnis baru, tentu banyak masalah yang harus dihadapi oleh Ardi, nama panggilan dari pemilik franchise atau waralaba Corner Kebab, Ardiansyah Murdiawan Saputra. Namun, berbagai masalah itu dianggap Ardi bukan sebagai hambatan, melainkan tantangan yang harus ... Artikel Bisnis
EXCELSO, Kopi untuk Kalangan Menengah Atas Bagi Anda penggemar kopi tentu tak asing dengan nama EXCELSO. Kafe EXCELSO tersebut kali pertama dibuka pada September 1991 di Plaza Indonesia, Jakarta, untuk mendukung merek kopi yang baru diciptakan oleh PT Santos Jaya Abadi, yaitu kopi EXCELSO. Kopi EXCELSO dibuat dan dipasarkan ... Artikel Bisnis
Ingin Kuliah Entrepreneurship? Baca Ini Dulu Jika Anda benar ingin sukses dalam berwirausaha, mungkin Anda bisa mempertimbangkan untuk mengambil sebuah jurusan entrepreneurshp atau yang berhubungan dengan entrepreneurship di universitas. Bagi Anda yang menyukai dunia bisnis dan wirausaha, tentunya ini menjadi sebuah peluang ... Artikel Bisnis
Cetak Omzet Puluhan Juta dari Mi Ayam Bisnis makanan memang tak pernah surut. Salah satunya ialah bisnis mi ayam. Meski banyak pemain, toh bisnis ini tetap menjanjikan. Hal tersebut membuat Teguh Mardianto mantap mengeluti usaha yang telah dirintis oleh ibunya sejak tahun 1993 di daerah Prambanan, Klaten, Jawa ... Artikel Bisnis
Even as a high school student, Dave Goldberg was urging female classmates to speak up. As a young dot-com executive, he had one girlfriend after another, but fell hard for a driven friend named Sheryl Sandberg, pining after her for years. After they wed, Mr. Goldberg pushed her to negotiate hard for high compensation and arranged his schedule so that he could be home with their children when she was traveling for work.
Mr. Goldberg, who died unexpectedly on Friday, was a genial, 47-year-old Silicon Valley entrepreneur who built his latest company, SurveyMonkey, from a modest enterprise to one recently valued by investors at $2 billion. But he was also perhaps the signature male feminist of his era: the first major chief executive in memory to spur his wife to become as successful in business as he was, and an essential figure in “Lean In,” Ms. Sandberg’s blockbuster guide to female achievement.
Over the weekend, even strangers were shocked at his death, both because of his relatively young age and because they knew of him as the living, breathing, car-pooling center of a new philosophy of two-career marriage.
“They were very much the role models for what this next generation wants to grapple with,” said Debora L. Spar, the president of Barnard College. In a 2011 commencement speech there, Ms. Sandberg told the graduates that whom they married would be their most important career decision.
In the play “The Heidi Chronicles,” revived on Broadway this spring, a male character who is the founder of a media company says that “I don’t want to come home to an A-plus,” explaining that his ambitions require him to marry an unthreatening helpmeet. Mr. Goldberg grew up to hold the opposite view, starting with his upbringing in progressive Minneapolis circles where “there was woman power in every aspect of our lives,” Jeffrey Dachis, a childhood friend, said in an interview.
The Goldberg parents read “The Feminine Mystique” together — in fact, Mr. Goldberg’s father introduced it to his wife, according to Ms. Sandberg’s book. In 1976, Paula Goldberg helped found a nonprofit to aid children with disabilities. Her husband, Mel, a law professor who taught at night, made the family breakfast at home.
Later, when Dave Goldberg was in high school and his prom date, Jill Chessen, stayed silent in a politics class, he chastised her afterward. He said, “You need to speak up,” Ms. Chessen recalled in an interview. “They need to hear your voice.”
Years later, when Karin Gilford, an early employee at Launch Media, Mr. Goldberg’s digital music company, became a mother, he knew exactly what to do. He kept giving her challenging assignments, she recalled, but also let her work from home one day a week. After Yahoo acquired Launch, Mr. Goldberg became known for distributing roses to all the women in the office on Valentine’s Day.
Ms. Sandberg, who often describes herself as bossy-in-a-good-way, enchanted him when they became friendly in the mid-1990s. He “was smitten with her,” Ms. Chessen remembered. Ms. Sandberg was dating someone else, but Mr. Goldberg still hung around, even helping her and her then-boyfriend move, recalled Bob Roback, a friend and co-founder of Launch. When they finally married in 2004, friends remember thinking how similar the two were, and that the qualities that might have made Ms. Sandberg intimidating to some men drew Mr. Goldberg to her even more.
Over the next decade, Mr. Goldberg and Ms. Sandberg pioneered new ways of capturing information online, had a son and then a daughter, became immensely wealthy, and hashed out their who-does-what-in-this-marriage issues. Mr. Goldberg’s commute from the Bay Area to Los Angeles became a strain, so he relocated, later joking that he “lost the coin flip” of where they would live. He paid the bills, she planned the birthday parties, and both often left their offices at 5:30 so they could eat dinner with their children before resuming work afterward.
Friends in Silicon Valley say they were careful to conduct their careers separately, politely refusing when outsiders would ask one about the other’s work: Ms. Sandberg’s role building Facebook into an information and advertising powerhouse, and Mr. Goldberg at SurveyMonkey, which made polling faster and cheaper. But privately, their work was intertwined. He often began statements to his team with the phrase “Well, Sheryl said” sharing her business advice. He counseled her, too, starting with her salary negotiations with Mark Zuckerberg.
“I wanted Mark to really feel he stretched to get Sheryl, because she was worth it,” Mr. Goldberg explained in a 2013 “60 Minutes” interview, his Minnesota accent and his smile intact as he offered a rare peek of the intersection of marriage and money at the top of corporate life.
While his wife grew increasingly outspoken about women’s advancement, Mr. Goldberg quietly advised the men in the office on family and partnership matters, an associate said. Six out of 16 members of SurveyMonkey’s management team are female, an almost unheard-of ratio among Silicon Valley “unicorns,” or companies valued at over $1 billion.
When Mellody Hobson, a friend and finance executive, wrote a chapter of “Lean In” about women of color for the college edition of the book, Mr. Goldberg gave her feedback on the draft, a clue to his deep involvement. He joked with Ms. Hobson that she was too long-winded, like Ms. Sandberg, but aside from that, he said he loved the chapter, she said in an interview.
By then, Mr. Goldberg was a figure of fascination who inspired a “where can I get one of those?” reaction among many of the women who had read the best seller “Lean In.” Some lamented that Ms. Sandberg’s advice hinged too much on marrying a Dave Goldberg, who was humble enough to plan around his wife, attentive enough to worry about which shoes his young daughter would wear, and rich enough to help pay for the help that made the family’s balancing act manageable.
Now that he is gone, and Ms. Sandberg goes from being half of a celebrated partnership to perhaps the business world’s most prominent single mother, the pages of “Lean In” carry a new sting of loss.
“We are never at 50-50 at any given moment — perfect equality is hard to define or sustain — but we allow the pendulum to swing back and forth between us,” she wrote in 2013, adding that they were looking forward to raising teenagers together.
“Fortunately, I have Dave to figure it out with me,” she wrote.