Agen Tiket Pesawat di Kutai Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
Agen Tiket Pesawat di Malang Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
Agen Tiket Pesawat di Yogyakarta Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
Agen Tiket Pesawat di Bandung Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
Agen Tiket Pesawat di Pontianak Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
Agen Tiket Pesawat di Samarinda Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
Agen Tiket Pesawat di Palembang Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.
saco-indonesia.com, Anggun C Sasmi merupakan penyanyi wanita Indonesia yang namanya juga sudah dikenal hingga mancanegara. Makan
saco-indonesia.com, Anggun C Sasmi merupakan penyanyi wanita Indonesia yang namanya juga sudah dikenal hingga mancanegara. Makanya banyak musisi yang ingin mencoba mengikuti jejaknya dalam hal bermusik, salah satunya Larra Sylvi.
"Menjadi penyanyi Internasional seperti Anggun adalah impianku," ujar Larra saat ditemui di FX Mal, Sudirman, Jakarta Pusat.
Makanya lewat single Kamu, dara kelahiran 16 Maret 1995 itu telah berharap akan bisa merealisasikan keinginannya untuk bisa membanggakan Indonesia dan tentu keluarga untuk dapat memulai go Internasional seperti Anggun.
"Semoga lewat single ini, aku juga bisa mengepakan sayap ku di industri musik Tanah Air. Dan juga dapat diterima oleh para pencinta musik," kata Larra.
Tentunya tidak mudah bagi Larra untuk menjadi seperti penyanyi idolanya. Maka itu dia juga mengaku butuh kritikan dari para penikmat musik tanah air agar bisa menjadikannya lebih matang.
"Terima (kritikan) banget. Malah aku suka minta dikritik. Ayo dong apa yang kurang. Kritikan itu sebenarnya sifatnya membangun, makanya aku ambil positifnya saja. Biar mental kuat juga," pungkasnya.
Editor : Dian Sukmawati
PERHITUNGAN ZAKAT MENURUT ISLAM
perhitungan zakat menurut islam
1- Zakat Mata Uang
Jika harta
seseorang senilai 85 gram emas atau 595 gram
Jika harta seseorang senilai 85 gram emas atau 595 gram perak,
dengan hitungan nilai pada saat dia mengeluarkan zakat sesuai dengan nilai mata uang negara orang
yang membayar zakat, maka dia keluarkan zakatnya sebanyak 2½ %, setelah setiap putaran
tahun hijriyah dan harta sampai senisab.
Suatu contoh: Seseorang mempunyai
harta seba-nyak Rp.10.000.000,-, setelah satu tahun putaran, maka dia harus mengeluarkan zakat
sebagai berikut:
Rp.10.000.000,-
x
25
1000
=
Rp.250.000,-
2- Zakat Utang
Piutang
Jika seseorang memberi pinjaman kepada orang lain dan masa
pinjaman berlalu beberapa waktu, maka menurut pendapat ulama yang paling mudah*1, orang yang
memberi pinjaman harus mengeluarkan zakat piutang dalam jangka setahun saja walaupun hutang
tersebut berlalu bertahun-tahun.
Suatu contoh Aiman memberi pinjaman uang ke-
pada seseorang yang bernama Ahmad sebanyak Rp. 15.000.000,- dan pinjaman tersebut bertahan pada
Ahmad selama tiga tahun, maka siapa yang wajib mengeluarkan zakat dan berapa jumlah zakat yang
harus dibayar?
Yang berkewajiban mengeluarkan zakat adalah Aiman karena dia
pemilik harta tersebut dan dia wajib mengeluarkan zakat dalam jangka setahun saja sebesar:
Rp.15.000.000,-
x
25
1000
x
1 tahun = Rp.375.000,-
*1 Demikian itu adalah pendapat Imam Malik baik utang yang
diharapkan pengembaliannya atau tidak dengan syarat tidak diakhirkan penyerahan-nya tersendiri
dari zakat. Jika tidak, maka wajib mengeluarkan zakat tiap tahun yang telah berlalu dari masa
hutang. Sebagaimana pendapat Ibnu Qasim Al-Maliki bahwa yang lebih hati-hati adalah mengeluarkan
zakat piutang setiap tahun sepanjang masa piutang seperti pendapat madzhab Hambali.
3- Zakat Profesi
Jika seorang muslim memperoleh
pendapatan dari hasil usaha atau profesi tertentu, maka dia boleh menge-luarkan zakatnya langsung
2½ % pada saat penerimaan setelah dipotong kebutuhan bulanannya atau menunggu putaran satu
tahun dan dikeluarkan zakatnya bersama dengan harta benda lain yang wajib dizakati senilai
2½ %.
Suatu contoh: Seseorang memiliki harta yang diza-kati setiap tahun
di awal bulan Muharram, jika dia mene-rima gaji pada bulan Ramadhan, maka dia boleh memilih
ketentuan di bawah ini:
Mengeluarkan zakat profesi dari gaji bulan Rama-dhan
tersendiri pada bulan itu *2 atau,
Ditunda pembayaran zakat profesi digabung
dengan harta yang lain dan dikeluarkan secara bersama pada bulan Muharram.
Secara kaidah bahwa harta itu wajib dizakati sekali dalam setahun.
*2
Termasuk harta profesi antara lain gaji atau pendapatan dari suatu profesi atau keahlian, boleh
dikeluarkan zakatnya tanpa menunggu putaran haul (tahun), tetapi tidak boleh dizakati dua kali
dalam setahun.
4- Zakat Saham dan Kertas Berharga
Saham dan kertas berharga*3 bila telah sampai seni-sab wajib dikeluarkan zakatnya bersama
keuntungannya, seperti nisab mata uang dan kadar zakat sebesar 2½ %.
Suatu contoh: Seseorang memiliki saham, pada saat mau mengeluarkan zakatnya saham tersebut
menurut harga pasar senilai Rp.50.000.000,- dan tiap tahun mendapat-kan laba sebesar
Rp.5.000.000,- sehingga jumlah harta keseluruhan sebesar Rp.50.000.000,- + Rp.5.000.000,- =
Rp.55.000.000,-.
Zakatnya:
Rp.55.000.000,-
x
25
1000
=
Rp.1.375.000,-
*3 Kertas berharga
biasanya tercampur dengan nilai yang haram yaitu riba, tetap wajib dikeluarkan zakatnya, karena
dibolehkan menyalurkan hasil yang haram untuk kepentingan umum kaum muslimin
5- Zakat Perhiasan Wanita
Pendapat tengah-tengah di
antara pendapat para ulama adalah pendapat yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallaahu
anhu bahwa beliau berfatwa tentang wajibnya zakat perhiasan sekali dalam seumur dan bukan setiap
putaran haul (tahun)*4 , tetapi jika membeli perhiasan lain maka dia harus mengeluarkan zakat
perhiasan yang baru dibeli itu dengan syarat barang tersebut hanya untuk perhiasan*5. Adapun
peralatan dan wadah yang terbuat dari emas bila telah sampai senisab, maka harus dikeluarkan
zakatnya.
Suatu contoh: Seorang wanita memiliki perhiasan emas seberat 100 gram
yang dipakai untuk perhiasan, bagaimana mengeluarkan zakatnya?
Jawab: Wajib
bagi wanita mengeluarkan zakat per-hiasan tersebut sekali dalam seumur.
100 x 2½
=
25
100
gr.
atau berupa uang senilai 2½ gr.
Jika dia membeli lagi emas untuk perhiasan
sebe-rat 100 gram, maka dia harus mengeluarkan zakatnya sebesar 2½ gram sekali saja seumur
hidup.
*4 Pendapat ini terdapat dalam kitab Al-Muhalla 6/78 dan
Sunan Kubra 4/ 138
*5 Kadar zakat yang wajib dikeluarkan baik emas maupun perak
sebesar 2½ %.
6- Zakat Apartemen, Perkantoran dan Tanah
Persewaan
(A). Barangsiapa yang memiliki apartemen,
ruko atau tanah yang disewakan, maka dia wajib mengeluar-kan zakat dari hasil penyewaan sebesar
2½ %, bila telah sampai senisab.
Suatu contoh: Seseorang memiliki ruko
untuk disewakan tahunan dengan nilai sewa sebesar Rp.20.000.000,- bagaimana cara mengeluarkan
zakatnya?
Jawab: Kadar zakatnya 2½%
Rp.20.000.000,-
x
25
1000
=
Rp.500.000,-
Catatan: Jika gedung tersebut belum ada yang menyewa
maka belum ada kewajiban mengeluarkan zakat.
(B). Jika
seseorang menjual gedung tersebut, ma-ka dia wajib mengeluarkan zakat dari hasil penjualan
sebesar 2½ %.
Suatu contoh: Seseorang memiliki tanah kosong kemudian
dijual dan laku seharga Rp.100.000.000,- dan se-belum terjual tanah tersebut berada di bawah
kepemilikan-nya selama tiga tahun tanpa mendapatkan keuntungan karena tidak ada yang menyewa.
Maka dia wajib menge-luarkan zakat dari hasil penjualan saja dengan perincian:
Rp.100.000.000,-
x
25
1000
=
Rp.2.500.000,-
Dan dikeluarkan cukup setahun itu saja sesuai de-ngan pendapat yang
paling mudah.*6
Kaidah: Jika gedung atau tanah tersebut diguna-kan untuk
keperluan pribadi tidak wajib dizakati.
*6 Demikian itu adalah pendapat dari
madzhab Malikiyah, alasan mereka bahwa harta persewaan sebelum terjual tidak berkembang sehingga
tidak harus dizakati. Lihat Syarh Kabir dan Hasyiyah Dasuqi 1/457. Dan untuk
lebih hati-hati sebaiknya mengeluarkan zakatnya setiap tahun bila jelas tanah tersebut d
iproyeksikan untuk niaga.
7- Zakat Perdagangan
Seorang pedagang hendaknya menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli lalu
digabung-kan dengan keuntungan bersih setelah dipotong piutang. Kadar zakatnya 2½
%.*7
Suatu contoh: Seorang pedagang menjumlah barang dagangan di akhir tahun
dengan jumlah total Rp. 200.000.000,- dan laba bersih sebesar Rp.50.000.000,- sementara dia
mempunyai hutang sebesar Rp.100.000.000,-.
Jumlah harta
zakat: Rp.100.000.000,- + Rp. 50.000.000,- = Rp.150.000.000,-
Zakatnya: Rp.150.000.000,-
x
25
1000
=
Rp.3.750.000,-
*7 Modal tetap tidak wajib dizakati seperti gedung, perkakas dan alat
opera-sional perdagangan
8- Zakat Tanaman
Jika biji-bijian atau buah-buahan*8 telah sampai senisab yaitu lima wasak atau seberat +
670 kg, maka wajib dikeluarkan zakatnya 10% bila disiram dengan air hujan dan 5% jika menggunakan
alat atau memindah air dari tempat lain dengan kendaraan atau yang lainnya.
Suatu contoh: Seorang petani memetik hasil panen sebanyak lima ton gandum dan dua ton
korma, maka berapa zakat yang harus dikeluarkan jika dia mengguna-kan alat penyiram tanaman?
Zakat gandum: 5000
x
5
100
=
250 kg.
Zakat korma: 2000
x
5
100
=
100 kg.
*8 Hasil-hasil pertanian
selain biji-bijian dianggap sebagai buah-buahan, seperti sayur mayur segar dan buahan-buahan
masih dalam kelompok barang-barang niaga yang kadar zakatnya 2½ %. Meskipun Madzhab Hanafi
berpendapat wajib mengeluarkan zakat setiap tanaman yang ditumbuhkan bumi sekadar 5% atau 10%
sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
9- Zakat
Peternakan
Jika seseorang memiliki lima onta, maka ia wajib
mengeluarkan zakat seekor kambing dan jika memiliki tiga puluh sapi, maka dia harus mengeluarkan
tabi’i (sapi yang berumur setahun). Jika memiliki kambing empat puluh, maka dia
wajib mengeluarkan zakat seekor kambing. Apabila jumlah hewan ternak lebih dari hitung-an di
atas, maka cara mengeluarkan zakat seperti pada tabel di bawah ini:
Selain
hewan yang tersebut di atas masuk dalam kelompok barang niaga bila diproyeksikan sebagai barang
perdagangan.
Tabel Zakat Hewan Ternak yang Hidup di Padang
Gembala
Tabel Zakat Kambing
Nisab
Zakat yang harus dikeluarkan
Dari
Sampai
40
120
1 Kambing
121
200
2 Kambing
201
3 Kambing
Kemudian setiap 100
kambing zakatnya seekor kambing
* Tidak
boleh mengambil zakat berupa pejantan, hewan yang sudah tua sekali, cacat atau paling
buruk.
* Tidak boleh mengambil zakat berupa hewan pincang,
hewan betina yang mau melahirkan, hewan potong atau hewan termahal.
Tabel Zakat Onta
Nisab
Zakat yang harus dikeluarkan
Dari
Sampai
5
9
1 Kambing
10
14
2 Kambing
15
19
3 Kambing
20
24
4 Kambing
25
35
1 Bintu Makhadh
36
45
1 Bintu labun
46
60
1 Hiqqah
61
75
1 Jad’ah
76
90
2 Bintu Labun
91
120
2 Hiqqah
121
3 Bintu Labun
Kemudian setiap 40 onta zakatnya satu Bintu Labun
dan setiap 50 onta zakatnya 1 Hiqqah.
Bintu
Makhadh adalah onta yang telah berumur satu tahun, dinamakan seperti itu karena induknya
sedang hamil.
Bintu Labun adalah onta yang telah
berumur dua tahun, dinamakan seperti itu karena induknya sedang menyusui lagi.
Hiqqah adalah onta yang telah berumur tiga tahun, dinamakan seperti itu
karena sudah mampu dan berhak dikendarai.
Jad’ah adalah onta telah yang berumur empat tahun
Tabel Zakat Sapi
Nisab
Zakat yang harus dibayarkan
Dari
Sampai
30
39
1 Tabii’ atau
Tabii’ah
40
59
1 Musinnah
60
2
Tabii’ah
Kemudian setiap tiga
puluh sapi zakatnya satu tabii’i dan setiap empat puluh sapi satu Musinnah.
* Tabii’ atau Tabii’ah adalah sapi yang
telah berumur satu tahun.
* Musinnah adalah sapi yang telah
berumur dua tahun.
10- Zakat Madu Tawon
Jika hasil madu
mencapai nisab seberat 670 kg, maka harus dikeluarkan zakatnya sebesar 10 % dari be-rat bersih
madu setelah dipotong biaya produksi.
Suatu contoh: Zakat 1000 kg madu
adalah:
1000 kg
x
10
100
=
100 kg.
11- Zakat Barang Tambang
Hasil tambang
dan minyak serta gas bumi hasilnya harus disalurkan ke Baitul Mal untuk kepentingan umum dan
kebutuhan ummat.
Jika ada seseorang atau perusahaan diberi kesem-patan
menambang dan mengolah barang tambang terse-but, maka dia harus mengeluarkan zakat sebesar
2½ % dari penghasilan yang telah dikelola. Termasuk kelom-pok barang tambang yaitu seluruh
bahan bangunan seperti batu atau pasir, juga harus dikeluarkan zakatnya sebesar 2½ % dari
hasil yang telah diperoleh.*9
*9 Zakat hasil tambang tidak disyaratkan putaran
haul (tahun), wajib menge-luarkan zakat pada saat barang tambang telah selesai proses
pengolahan.
12- Zakat Hasil Laut dan Perikanan
Jika seorang nelayan atau perusahaan pengolah hasil laut menangkap ikan kemudian hasil
tersebut dijual, maka dia wajib mengeluarkan zakat seperti zakat niaga yaitu 2½% (*10)
demikian itu bila hasilnya telah sampai senisab seperti nisabnya mata uang.
Suatu contoh: Suatu perusahaan penangkap ikan menghasilkan satu ton ikan, kemudian dijual
kepada konsumen seharga Rp.4.000.00,-, berapa zakat yang harus dibayar.*11
Zakatnya: Rp.4.000.000,-
x
25
1000
=
Rp.100.000,-
*10 Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad seperti yang telah
disebut-kan dalam kitab Al-Mughni 3/28.
*11 Artinya nilai jual ikan seharga
nisabnya mata uang yaitu 85 gr emas
13- Zakat Fitrah
A. Setiap muslim wajib membayar zakat fitrah setelah
matahari terbenam akhir bulan Ramadhan dan lebih utama jika dibayarkan sebelum keluar shalat Idul
Fitri dan boleh dibayarkan dua hari sebelum hari raya *12 , demi menjaga kemaslahatan orang
fakir. Dan haram mengakhirkan pembayaran zakat fitrah hingga habis shalat dan barangsiapa
melakukan perbuatan tersebut, maka harus menggantinya.*13
B. Seorang muslim
wajib membayar zakat untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawab-nya seperti
isterinya, anaknya, dan pembantunya yang muslim. Akan tetapi boleh bagi seorang isteri atau anak
atau pembantu membayar zakat sendiri.
C. Kadar zakat fitrah
yang harus dibayar*14 adalah satu sha’ dari makanan pokok negara setempat, dan
satu sha’ untuk ukuran sekarang kira-kira 2,176 kg (keten-tuan ini sesuai makanan
pokok gandum).
Dan kita bisa menggunakan tangan untuk menjadi takaran dengan
cara kita penuhi kedua telapak tangan sebanyak empat kali. Karena satu mud sama dengan
genggaman dua telapak tangan orang dewasa dan satu sha’ sama dengan empat
mud.
Contoh: Seseorang mempunyai satu isteri dan empat orang anak
serta satu pembantu muslim, berapa dia harus membayar zakat fitrah untuk mereka?
Dengan ukuran sha’ dia harus membayar 7 x 1 sha’ = 7 sha’
Dengan takaran atau timbangan sekarang berupa gandum: 7 x 2,176 kg = 15,232 kg atau lima
belas kilo dua ratus tiga puluh dua gram.
Dan dengan kita meraup gandum dengan
dua tela-pak tangan: 7 x 4 = 28 kali raupan dari makanan pokok baik berupa korma, gandum, anggur
kering, susu ke-ring, jagung atau beras.
D. Dianjurkan
mengeluarkan zakat dengan makanan*15 , Imam Abu Hanifah membolehkan membayar dengan uang dan ini
pendapat yang lebih mudah terlebih bagi lingkungan industri.*16
Kadar nilai
zakat disesuaikan dengan harga makan-an pokok masing-masing negara, jika seseorang ingin membayar
zakat dengan korma sebanyak dua puluh kilo, maka hendaknya dia harus menanyakan harga kor-ma per
kilo untuk ukuran korma sedang, lalu dihitung dengan mata uang setempat.
*12
Menurut madzhab Hambali boleh mengeluarkan zakat setelah pertengah-an bulan Ramadhan, pendapat
ini lebih mempermudah khususnya bagi negara yang menangani langsung pembayaran zakat fitrah, atau
jika yang menangani itu yayasan-yayasan sosial, sehingga mempermudah mereka dalam pengumpulan dan
pembagiannya pada hari Ied.
*13 Lihat Nailul Authar, 4/195. Fiqhuz
Zakah: 1/155.
*14 Dalam zakat fitrah tidak mengenal nisab, di saat ada kelebihan
dari kebutuhan makanan pada malam hari raya untuk dirinya dan keluarga-nya, maka seseorang wajib
membayar zakat fitrah.
*15 Para ulama madzhab tiga (Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad)
tidak membo-lehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang.
*16 Fiqhuz Zakah
, 1/949. Penulis pernah membuat semacam ide yang disampaikan lewat mimbar
pada tahun 1404 H. hendaknya zakat fitrah dikelola oleh pemerintah atau Lembaga Islam kemudian
disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan baik di dalam maupun luar negeri khususnya
negara-negara yang terkena krisis seperti negara Afrika atau Asia yang banyak menderita
kelaparan. Apalagi kristenisasi sangat gencar dengan berkedok bantuan sosial berupa makanan atau
obat-obatan untuk bantuan kelaparan dan bencana alam dimanfaatkan untuk pemurtadan sehingga
banyak di antara kaum muslimin yang keluar dari Islam hanya karena sesuap nasi seperti yang
terjadi di Indonesia.
Jika zakat fitrah tersebut bisa dikumpulkan setelah pertengahan
bulan Ramadhan, maka sangat mungkin zakat fitrah tersebut disalurkan kepada yang berhak pada
waktu itu juga. Dengan demikian pada saat hari raya orang-orang kelaparan bisa merasa kenyang dan
kecukupan, bila tidak apa mungkin seseorang dipaksa bergembira di hari raya sementara kela-paran
melilitnya.
SISWA SD TEWAS TERLINDAS TRUK
saco-indonesia.com, Nasib nahas telah menimpa seorang bocah Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tugu Utara 22, Muhammad Badrul Tamam yang
saco-indonesia.com, Nasib nahas telah menimpa seorang bocah Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tugu Utara 22, Muhammad Badrul Tamam yang berusia (7) tahun . Bocah kelas 2 SD tersebut tewas setelah terlindas truk kontainer yang bernomor polisi B 9899 UEH di Jalan Kratmat Jaya, Koja, Jakarta Utara, Selasa pagi.
Akibat dari kecelakaan yang telah terjadi sekitar pukul 09.45 WIB, telah mengakibatkan kepala Badrul pecah terlindas kontainer. Sang Ibu yang mengerem secara mendadak sepeda motor Honda Spacy biru B 3535 UAX untuk dapat mengindari lubang sedalam 20 sentimeter.
Salah satu guru Badrul, Yasin juga mengatakan, dirinya pertama kali mendengar kabar tersebut dari seorang guru lainnya di SDN 23 yang tidak jauh dari lokasi.
"Kebetulan ada guru olahraga SDN 23 yang pas mau berangkat ke sekolah ketika di Jalan Kramat Jaya dia lihat ada keramaian pas dilihat ternyata ada kecelakaan anak sekolah pakai baju sekolah SDN 22 tapi dia gak ngenalin wajahnya, kemudian dia langsung ke sekolah dan nemuin pimpinan kemudian saya langsung ke Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara," jelasnya, Selasa (28/1).
Selain itu, Yasin juga menuturkan, memang setiap hari sang ibu selalu mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah, namun baru kali ini sang anak terlambat sekolah padahal jam masuk sekolah pukul 09.00 WIB.
"Baru mau berangkat sekolah, jam masuk sekolah itu pukul 09.00 WIB, dia memang setiap hari dianter Ibunya ke sekolah. Harusnya memang sudah masuk tapi baru kali ini telat," tandasnya.
Saat ini sang ibu telah mendapatkan perawatan intensif di Rumah Sakit Pelabuhan, Jakarta Utara karena telah mengalami luka-luka dan shock berat atas kejadian tersebut. Sedangkan jasad sang anak dibawa langsung ke RSCM untuk identifikasi lebih lanjut.
Editor : Dian Sukmawati
SOMASI UNTUK PARTAI YANG MENGGUNAKAN GAMBAR GUS DUR
saco-indonesia.com, Istri mediang Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid, Hj Sinta Nuriyah Wahid telah menegaskan, jika ada salah sat
saco-indonesia.com, Istri mediang Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid, Hj Sinta Nuriyah Wahid telah menegaskan, jika ada salah satu partai yang akan menggunakan gambar almarhum suaminya itu, sama saja dengan mencuri. Sebab, itu pernah diwasiatkan oleh Gus Dur sendiri, sebelum wafat. Siapa saja atau lembaga apapun untuk dapat disomasi jika menggunakan gambarnya.
Hal ini telah disampaikan oleh Sinta Nuriyah saat menjadi pembicara di acara Partai NasDem di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (26/12). Menurut Sinta Nuriyah, dia dan almarhum suaminya itu tidak membatasi harus ada di mana.
"Saya juga mengatakan ada di mana-mana. Gus Dur juga ada di mana-mana. Saya ada di Hanura, ada di Gerindra, dan ada di partai manapun. Sekarang saya ada di Partai NasDem, kecuali di satu itu (PKB)," tegas Sinta.
Lalu kenapa gambar Gus Dur digunakan sebagai sarana untuk kampanye di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)? Pada baliho calon legislatif (caleg) dari PKB, terdapat gambar Gus Dur dan tulisan: Penerus Perjuangan Gus Dur.
"Saya telah menegaskan, sebelum wafat, Gus Dur berwasiat. Dalam surat wasiat yang telah ditulis melalui pengacara dan ditandatangani oleh Gus Dur itu, beliau berpesan: Barang siapa yang menggunakan gambar dan kata-kata beliau, maka mereka berhak disomasi. Itu harus disomasi," kata Sinta Nuriyah saat menceritakan isi surat wasiat Gus Dur yang telah dibuat pada tahun 2008 lalu , pasca dibuang oleh PKB.
Sementara dalam menghadapi Pemilu 2014 mendatang, PKB yang telah menyingkirkan Gus Dur justru mengklaim, sebagai partai penerus perjuangan Gus Dur.
Bahkan, Sinta Nuriyah telah menyatakan, penggunaan gambar itu sama saja dengan mencuri. Penggunaan gambar Gus Dur yang telah dilakukan oleh PKB itu tanpa izin dan sepengetahuan keluarga Gus Dur.
"Itu namanya nyolong (mencuri), dan harus segera di turunkan," tegas Sinta Nuriyah tanpa menyebut partai yang menggunakan simbol-simbol milik Gus Dur.
Cucu pendiri Nahdlatul Ulama itu, saat ini juga sudah menjadi milik bangsa Indonesia. Sebagai guru bangsa. Namun, kata Sinta Nuriyah, untuk wilayah politik, Gus Dur punya 'rumah' sendiri.
"Gus Dur memang sudah menjadi milik bangsa. Namun, untuk masalah politik, Gus Dur juga punya rumah sendiri. Jadi kalau ada yang menggunakan gambar dan kalimat Gus Dur untuk kepentingan politik, inilah yang harus disomasi," tandas dia.
Editor : Dian Sukmawati
JASA CUCI KURSI KANTOR DI JABODETABEK
Jasa Cuci Kursi Kantor di Jabodetabek ~ Kursi kantor juga merupakan salah satu element terpenting dalam sebuah kantor, kenyamana
Jasa Cuci Kursi Kantor di Jabodetabek ~ Kursi kantor juga merupakan salah satu element terpenting dalam sebuah kantor, kenyamanan kerja karyawan juga merupakan suatu hal yang dirasakan sangat perlu untuk diperhatikan oleh seorang pemilik perusahaan atau team pada kantor tersebut. Demi untuk Menjaga kebersihan kantor Anda, maka kami membuka Layanan Jasa Cuci Kursi kantor untuk Wilayah Jabodetabek, Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi khususnya.
Anda Tidak perlu khawatir akan kesulitan menggunakan Jasa Cuci Kursi Kantor kami, yang perlu anda lakukan hanyalah dengan menelpon ke nomor Jasa Cuci Kursi Kantor yang kami sediakan untuk Anda. Setelah Menghubungi team Cuci Kursi Kantor kami, maka Team Kami akan segera mengunjungi kantor Anda untuk mencuci Kursi kantor yang ingin dibersihkan.memiliki tenaga handal plus dengan Alat Cuci Kursi Kantor terbaik yang ada di Jakarta., Jadi tidak perlu takut untuk memesan jasa cuci kursi kantor kami.
Jasa Cuci Kursi kantor kami menggunakan Alat modern yang menggunakan beberapa kemajuan tingkat teknologi terkini dalam Usaha Laundry Sofa dan Cuci Kursi kantor, Selain itu kami juga menggunakan Deterjen yang terbuat dari Bahan BioTechnology yang dijamin aman dan membunuh bakteri-bakteri menempel pada kursi kantor Anda.
Jasa Cuci Kursi Kantor adalah sebuah service istimewa untuk perusahan anda, kami juga akan memberikan Harga Khusus yang Coorporate untuk anda yang ingin bekerja sama dalam waktu jangka panjang dengan perusahaan kami.Banyak sekali kelebihan Jasa Cuci Kursi kantor yang akan kami berikan untuk Perusahaan Anda, Pemesanan Jasa Cuci Kursi kantor dalam Partai besar akan kami berikan diskon khusus untuk setiap pemesanan.
Selain Prostitusi, Kios Pasar Blok G Juga Jadi Arena Judi
Bekasi, Saco-Indonesia.com - Di Pasar Blok G Tanah Abang bukan hanya dijadikan tempat prostitusi. Pada Rabu (23/1/2014) malam, sekitar pukul 23.00, 15 penjudi dibekuk Tim Reserse Kriminal Polrestro Jakarta Pusat, di pasar tersebut.
Bekasi, Saco-Indonesia.com - Di Pasar Blok G Tanah Abang bukan hanya dijadikan tempat prostitusi. Pada Rabu (23/1/2014) malam, sekitar pukul 23.00, 15 penjudi dibekuk Tim Reserse Kriminal Polrestro Jakarta Pusat, di pasar tersebut.
Kasat Reskrim Polres Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja mengatakan, para penjudi itu memakai satu kios di lantai 1 Pasar Blok G Tanah Abang.
"Perjudian digelar di salah satu kios di lantai 1 Pasar Blok G Tanah Abang, tapi di dalamnya itu ada lima lapak untuk tempat bermain judi," kata Tatan.
Tatan menjelaskan, ada sekitar 25 anggota Reskrim Polres Jakarta Pusat yang menggerebek arena judi yang berukuran 1,5x2 meter persegi itu.
"Jenis permainan domino yang digelar. Untuk besaran taruhan bervariasi, mulai dari Rp 20.000 hingga Rp 200.000 sekali pasang. Omzet perjudiannya itu bisa mencapai belasan juta rupiah," ujar Tatan lagi.
Dari tangan 15 penjudi itu, petugas menyita barang bukti berupa tiga kartu domino serta meja kecil dijadikan tempat bermain kartu, serta uang pecahan Rp 20.000 hingga Rp 50.000 sebanyak Rp 676.000.
Menanggapi kejadian ini, Direktur PD Pasar Jaya Djangga Lubis mengatakan, para pemain judi yang ditangkap di pihak kepolisian bukan di Pasar Blok G, melainkan di luar sekitar pasar.
"Penangkapan kemarin itu bukan di pasarnya, melainkan di bagian luar. Kalau di kios-kios Pasar Blok G memang banyak yang main domino, tapi tidak memakai uang. Hal itu pula sudah kita laporkan ke atasan," kata Djangga.
Meski begitu, ke depannya, Djangga akan memperketat penjagaan dan pengawasan Pasar Blok G dari aksi perjudian dan maraknya PSK. Saat ini, dia akan melakukan pengawasan selama jam buka dan tutup Pasar Blok G.
Petugas keamanan yang disewa untuk menjaga Pasar Blok G Tanah Abang merupakan pihak outsourcing. "Sekarang kita senang ada penertiban ini. Sekarang kita akan awasi. Kita tadinya mau memberlakukan jam buka-tutup, tapi terkendala pada pedagang sayuran di sana," ujarnya.
Sumber : Kompas.com
Editor : Maulana Lee
Polisi belum temukan dugaan aliran sesat dalam kasus Dedeh
Satreskrim Polres Cimahi terus akan mendalami Dedeh Uum Fatimah yang berusia (38) tahun ibu tersangka pembunuh anaknya, Aisah Fany yang berusia (2,5) tahun yang ditenggelamkan ke dalam toren atau penampungan air. Termasuk dugaan aliran sesat dalam diri Dedeh.
Satreskrim Polres Cimahi terus akan mendalami Dedeh Uum Fatimah yang berusia (38) tahun ibu tersangka pembunuh anaknya, Aisah Fany yang berusia (2,5) tahun yang ditenggelamkan ke dalam toren atau penampungan air. Termasuk dugaan aliran sesat dalam diri Dedeh.
Pasalnya ibu tiga anak ini sama sekali tidak menyesali perbuatannya. Dedeh justru menyesal tidak menghabisi dua anak lainnya dalam insiden tersebut.
"Belum kita temukan, kita masih dalami kita juga geledah rumahnya tapi belum bisa kita simpulkan," kata Kapolres Cimahi AKBP Erwin Kurniawan , Jumat (14/3).
Dedeh saat ini masih terus dalam pemeriksaan intensif penyidik Polres Cimahi. Tes kejiwaan juga sudah dilakukan untuk dapat memastikan apakah terganggu atau tidak.
"Sudah hari Rabu kemarin di tes kejiwaan, hasilnya paling satu minggu baru keluar, jadi belum bisa kami simpulkan," paparnya.
Diberitakan sebelumnya, Dedeh ini dengan sadis tiba-tiba menenggelamkan anaknya sendiri yang masih balita ke dalam toren air di rumahnya di Kampung Cijengjing, Desa Kertamulya, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat pada Selasa (11/3) lalu. Pelaku nekat menghabisi nyawa anaknya saat tidur pulas. Dedeh membunuh anaknya sendiri karena ingin mengirimnya ke surga.
Review: ‘Frontline’ Looks at Missteps During the Ebola Outbreak
y NEIL GENZLINGER
Frontline
Frontline An installment of this PBS program looks at the effects of Ebola on Liberia and other countries, as well as the origins of the outbreak.
The program traces the outbreak to its origin, thought to be a tree full of bats in Guinea.
“Hard Earned,” an Al Jazeera America series, follows five working-class families scrambling to stay ahead on limited incomes.
Dave Goldberg, Head of Web Survey Company and Half of a Silicon Valley Power Couple, Dies at 47
By VINDU GOEL and QUENTIN HARDY
Mr. Goldberg was a serial Silicon Valley entrepreneur and venture capitalist who was married to Sheryl Sandberg, the chief operating officer of Facebook.
Betsy von Furstenberg, Baroness and Versatile Actress, Dies at 83
Ms. von Furstenberg made her debut in the movies and on the Broadway stage in the early 1950s as a teenager and later reinvented herself as a television actress, writer and philanthropist.
In Baltimore, National Guard Pullout Begins as Citywide Curfew Is Lifted
David Goldman/Associated Press
National Guard soldiers boarding a truck in Baltimore on Sunday.
Baltimore residents prepared to resume the more familiar rhythms of their lives as days passed without new bouts of widespread rioting and as the National Guard began to pull its troops from the city.
How Some Men Fake an 80-Hour Workweek, and Why It Matters
Imagine an elite professional services firm with a high-performing, workaholic culture. Everyone is expected to turn on a dime to serve a client, travel at a moment’s notice, and be available pretty much every evening and weekend. It can make for a grueling work life, but at the highest levels of accounting, law, investment banking and consulting firms, it is just the way things are.
Except for one dirty little secret: Some of the people ostensibly turning in those 80- or 90-hour workweeks, particularly men, may just be faking it.
Many of them were, at least, at one elite consulting firm studied by Erin Reid, a professor at Boston University’s Questrom School of Business. It’s impossible to know if what she learned at that unidentified consulting firm applies across the world of work more broadly. But her research, published in the academic journal Organization Science, offers a way to understand how the professional world differs between men and women, and some of the ways a hard-charging culture that emphasizes long hours above all can make some companies worse off.
Photo
Credit Peter Arkle
Ms. Reid interviewed more than 100 people in the American offices of a global consulting firm and had access to performance reviews and internal human resources documents. At the firm there was a strong culture around long hours and responding to clients promptly.
“When the client needs me to be somewhere, I just have to be there,” said one of the consultants Ms. Reid interviewed. “And if you can’t be there, it’s probably because you’ve got another client meeting at the same time. You know it’s tough to say I can’t be there because my son had a Cub Scout meeting.”
Some people fully embraced this culture and put in the long hours, and they tended to be top performers. Others openly pushed back against it, insisting upon lighter and more flexible work hours, or less travel; they were punished in their performance reviews.
The third group is most interesting. Some 31 percent of the men and 11 percent of the women whose records Ms. Reid examined managed to achieve the benefits of a more moderate work schedule without explicitly asking for it.
They made an effort to line up clients who were local, reducing the need for travel. When they skipped work to spend time with their children or spouse, they didn’t call attention to it. One team on which several members had small children agreed among themselves to cover for one another so that everyone could have more flexible hours.
A male junior manager described working to have repeat consulting engagements with a company near enough to his home that he could take care of it with day trips. “I try to head out by 5, get home at 5:30, have dinner, play with my daughter,” he said, adding that he generally kept weekend work down to two hours of catching up on email.
Despite the limited hours, he said: “I know what clients are expecting. So I deliver above that.” He received a high performance review and a promotion.
What is fascinating about the firm Ms. Reid studied is that these people, who in her terminology were “passing” as workaholics, received performance reviews that were as strong as their hyper-ambitious colleagues. For people who were good at faking it, there was no real damage done by their lighter workloads.
It calls to mind the episode of “Seinfeld” in which George Costanza leaves his car in the parking lot at Yankee Stadium, where he works, and gets a promotion because his boss sees the car and thinks he is getting to work earlier and staying later than anyone else. (The strategy goes awry for him, and is not recommended for any aspiring partners in a consulting firm.)
A second finding is that women, particularly those with young children, were much more likely to request greater flexibility through more formal means, such as returning from maternity leave with an explicitly reduced schedule. Men who requested a paternity leave seemed to be punished come review time, and so may have felt more need to take time to spend with their families through those unofficial methods.
The result of this is easy to see: Those specifically requesting a lighter workload, who were disproportionately women, suffered in their performance reviews; those who took a lighter workload more discreetly didn’t suffer. The maxim of “ask forgiveness, not permission” seemed to apply.
It would be dangerous to extrapolate too much from a study at one firm, but Ms. Reid said in an interview that since publishing a summary of her research in Harvard Business Review she has heard from people in a variety of industries describing the same dynamic.
High-octane professional service firms are that way for a reason, and no one would doubt that insane hours and lots of travel can be necessary if you’re a lawyer on the verge of a big trial, an accountant right before tax day or an investment banker advising on a huge merger.
But the fact that the consultants who quietly lightened their workload did just as well in their performance reviews as those who were truly working 80 or more hours a week suggests that in normal times, heavy workloads may be more about signaling devotion to a firm than really being more productive. The person working 80 hours isn’t necessarily serving clients any better than the person working 50.
In other words, maybe the real problem isn’t men faking greater devotion to their jobs. Maybe it’s that too many companies reward the wrong things, favoring the illusion of extraordinary effort over actual productivity.
THE WRITERS ASHLEY AND JAQUAVIS COLEMAN know the value of a good curtain-raiser. The couple have co-authored dozens of novels, and they like to start them with a bang: a headlong action sequence, a blast of violence or sex that rocks readers back on their heels. But the Colemans concede they would be hard-pressed to dream up anything more gripping than their own real-life opening scene.
In the summer of 2001, JaQuavis Coleman was a 16-year-old foster child in Flint, Mich., the former auto-manufacturing mecca that had devolved, in the wake of General Motors’ plant closures, into one of the country’s most dangerous cities, with a decimated economy and a violent crime rate more than three times the national average. When JaQuavis was 8, social services had removed him from his mother’s home. He spent years bouncing between foster families. At 16, JaQuavis was also a businessman: a crack dealer with a network of street-corner peddlers in his employ.
One day that summer, JaQuavis met a fellow dealer in a parking lot on Flint’s west side. He was there to make a bulk sale of a quarter-brick, or “nine-piece” — a nine-ounce parcel of cocaine, with a street value of about $11,000. In the middle of the transaction, JaQuavis heard the telltale chirp of a walkie-talkie. His customer, he now realized, was an undercover policeman. JaQuavis jumped into his car and spun out onto the road, with two unmarked police cars in pursuit. He didn’t want to get into a high-speed chase, so he whipped his car into a church parking lot and made a run for it, darting into an alleyway behind a row of small houses, where he tossed the quarter-brick into some bushes. When JaQuavis reached the small residential street on the other side of the houses, he was greeted by the police, who handcuffed him and went to search behind the houses where, they told him, they were certain he had ditched the drugs. JaQuavis had been dealing since he was 12, had amassed more than $100,000 and had never been arrested. Now, he thought: It’s over.
But when the police looked in the bushes, they couldn’t find any cocaine. They interrogated JaQuavis, who denied having ever possessed or sold drugs. They combed the backyard alley some more. After an hour of fruitless efforts, the police were forced to unlock the handcuffs and release their suspect.
JaQuavis was baffled by the turn of events until the next day, when he received a phone call. The previous afternoon, a 15-year-old girl had been sitting in her home on the west side of Flint when she heard sirens. She looked out of the window of her bedroom, and watched a young man throw a package in the bushes behind her house. She recognized him. He was a high school classmate — a handsome, charismatic boy whom she had admired from afar. The girl crept outside and grabbed the bundle, which she hid in her basement. “I have something that belongs to you,” Ashley Snell told JaQuavis Coleman when she reached him by phone. “You wanna come over here and pick it up?”
Photo
Three of the nearly 50 works of urban fiction published by the Colemans over the last decade, often featuring drug deals, violence, sex and a brash kind of feminism.Credit Marko Metzinger
In the Colemans’ first novel, “Dirty Money” (2005), they told a version of this story. The outline was the same: the drug deal gone bad, the dope chucked in the bushes, the fateful phone call. To the extent that the authors took poetic license, it was to tone down the meet-cute improbability of the true-life events. In “Dirty Money,” the girl, Anari, and the crack dealer, Maurice, circle each other warily for a year or so before coupling up. But the facts of Ashley and JaQuavis’s romance outstripped pulp fiction. They fell in love more or less at first sight, moved into their own apartment while still in high school and were married in 2008. “We were together from the day we met,” Ashley says. “I don’t think we’ve spent more than a week apart in total over the past 14 years.”
That partnership turned out to be creative and entrepreneurial as well as romantic. Over the past decade, the Colemans have published nearly 50 books, sometimes as solo writers, sometimes under pseudonyms, but usually as collaborators with a byline that has become a trusted brand: “Ashley & JaQuavis.” They are marquee stars of urban fiction, or street lit, a genre whose inner-city settings and lurid mix of crime, sex and sensationalism have earned it comparisons to gangsta rap. The emergence of street lit is one of the big stories in recent American publishing, a juggernaut that has generated huge sales by catering to a readership — young, black and, for the most part, female — that historically has been ill-served by the book business. But the genre is also widely maligned. Street lit is subject to a kind of triple snobbery: scorned by literati who look down on genre fiction generally, ignored by a white publishing establishment that remains largely indifferent to black books and disparaged by African-American intellectuals for poor writing, coarse values and trafficking in racial stereotypes.
But if a certain kind of cultural prestige is shut off to the Colemans, they have reaped other rewards. They’ve built a large and loyal fan base, which gobbles up the new Ashley & JaQuavis titles that arrive every few months. Many of those books are sold at street-corner stands and other off-the-grid venues in African-American neighborhoods, a literary gray market that doesn’t register a blip on best-seller tallies. Yet the Colemans’ most popular series now regularly crack the trade fiction best-seller lists of The New York Times and Publishers Weekly. For years, the pair had no literary agent; they sold hundreds of thousands of books without banking a penny in royalties. Still, they have earned millions of dollars, almost exclusively from cash-for-manuscript deals negotiated directly with independent publishing houses. In short, though little known outside of the world of urban fiction, the Colemans are one of America’s most successful literary couples, a distinction they’ve achieved, they insist, because of their work’s gritty authenticity and their devotion to a primal literary virtue: the power of the ripping yarn.
“When you read our books, you’re gonna realize: ‘Ashley & JaQuavis are storytellers,’ ” says Ashley. “Our tales will get your heart pounding.”
THE COLEMANS’ HOME BASE — the cottage from which they operate their cottage industry — is a spacious four-bedroom house in a genteel suburb about 35 miles north of downtown Detroit. The house is plush, but when I visited this past winter, it was sparsely appointed. The couple had just recently moved in, and had only had time to fully furnish the bedroom of their 4-year-old son, Quaye.
In conversation, Ashley and JaQuavis exude both modesty and bravado: gratitude for their good fortune and bootstrappers’ pride in having made their own luck. They talk a lot about their time in the trenches, the years they spent as a drug dealer and “ride-or-die girl” tandem. In Flint they learned to “grind hard.” Writing, they say, is merely a more elevated kind of grind.
“Instead of hitting the block like we used to, we hit the laptops,” says Ashley. “I know what every word is worth. So while I’m writing, I’m like: ‘Okay, there’s a hundred dollars. There’s a thousand dollars. There’s five thousand dollars.’ ”
They maintain a rigorous regimen. They each try to write 5,000 words per day, five days a week. The writers stagger their shifts: JaQuavis goes to bed at 7 p.m. and wakes up early, around 3 or 4 in the morning, to work while his wife and child sleep. Ashley writes during the day, often in libraries or at Starbucks.
They divide the labor in other ways. Chapters are divvied up more or less equally, with tasks assigned according to individual strengths. (JaQuavis typically handles character development. Ashley loves writing murder scenes.) The results are stitched together, with no editorial interference from one author in the other’s text. The real work, they contend, is the brainstorming. The Colemans spend weeks mapping out their plot-driven books — long conversations that turn into elaborate diagrams on dry-erase boards. “JaQuavis and I are so close, it makes the process real easy,” says Ashley. “Sometimes when I’m thinking of something, a plot point, he’ll say it out loud, and I’m like: ‘Wait — did I say that?’ ”
Their collaboration developed by accident, and on the fly. Both were bookish teenagers. Ashley read lots of Judy Blume and John Grisham; JaQuavis liked Shakespeare, Richard Wright and “Atlas Shrugged.” (Their first official date was at a Borders bookstore, where Ashley bought “The Coldest Winter Ever,” the Sister Souljah novel often credited with kick-starting the contemporary street-lit movement.) In 2003, Ashley, then 17, was forced to terminate an ectopic pregnancy. She was bedridden for three weeks, and to provide distraction and boost her spirits, JaQuavis challenged his girlfriend to a writing contest. “She just wasn’t talking. She was laying in bed. I said, ‘You know what? I bet you I could write a better book than you.’ My wife is real competitive. So I said, ‘Yo, all right, $500 bet.’ And I saw her eyes spark, like, ‘What?! You can’t write no better book than me!’ So I wrote about three chapters. She wrote about three chapters. Two days later, we switched.”
The result, hammered out in a few days, would become “Dirty Money.” Two years later, when Ashley and JaQuavis were students at Ferris State University in Western Michigan, they sold the manuscript to Urban Books, a street-lit imprint founded by the best-selling author Carl Weber. At the time, JaQuavis was still making his living selling drugs. When Ashley got the phone call informing her that their book had been bought, she assumed they’d hit it big, and flushed more than $10,000 worth of cocaine down the toilet. Their advance was a mere $4,000.
Photo
The roots of street lit, found in the midcentury detective novels of Chester Himes and the ‘60s and ‘70s “ghetto fiction” of Iceberg Slim and Donald Goines.Credit Marko Metzinger
Those advances would soon increase, eventually reaching five and six figures. The Colemans built their career, JaQuavis says, in a manner that made sense to him as a veteran dope peddler: by flooding the street with product. From the start, they were prolific, churning out books at a rate of four or five a year. Their novels made their way into stores; the now-defunct chain Waldenbooks, which had stores in urban areas typically bypassed by booksellers, was a major engine of the street-lit market. But Ashley and JaQuavis took advantage of distribution channels established by pioneering urban fiction authors such as Teri Woods and Vickie Stringer, and a network of street-corner tables, magazine stands, corner shops and bodegas. Like rappers who establish their bona fides with gray-market mixtapes, street-lit authors use this system to circumnavigate industry gatekeepers, bringing their work straight to the genre’s core readership. But urban fiction has other aficionados, in less likely places. “Our books are so popular in the prison system,” JaQuavis says. “We’re banned in certain penitentiaries. Inmates fight over the books — there are incidents, you know? I have loved ones in jail, and they’re like: ‘Yo, your books can’t come in here. It’s against the rules.’ ”
The appeal of the Colemans’ work is not hard to fathom. The books are formulaic and taut; they deliver the expected goods efficiently and exuberantly. The titles telegraph the contents: “Diary of a Street Diva,” “Kiss Kiss, Bang Bang,” “Murderville.” The novels serve up a stream of explicit sex and violence in a slangy, tangy, profane voice. In Ashley & JaQuavis’s books people don’t get killed: they get “popped,” “laid out,” get their “cap twisted back.” The smut is constant, with emphasis on the earthy, sticky, olfactory particulars. Romance novel clichés — shuddering orgasms, heroic carnal feats, superlative sexual skill sets — are rendered in the Colemans’ punchy patois.
Subtlety, in other words, isn’t Ashley & JaQuavis’s forte. But their books do have a grainy specificity. In “The Cartel” (2008), the first novel in the Colemans’ best-selling saga of a Miami drug syndicate, they catch the sights and smells of a crack workshop in a housing project: the nostril-stinging scent of cocaine and baking soda bubbling on stovetops; the teams of women, stripped naked except for hospital masks so they can’t pilfer the merchandise, “cutting up the cooked coke on the round wood table.” The subject matter is dark, but the Colemans’ tone is not quite noir. Even in the grimmest scenes, the mood is high-spirited, with the writers palpably relishing the lewd and gory details: the bodies writhing in boudoirs and crumpling under volleys of bullets, the geysers of blood and other bodily fluids.
The luridness of street lit has made it a flashpoint, inciting controversy reminiscent of the hip-hop culture wars of the 1980s and ’90s. But the street-lit debate touches deeper historical roots, reviving decades-old arguments in black literary circles about the mandate to uplift the race and present wholesome images of African-Americans. In 1928, W. E. B. Du Bois slammed the “licentiousness” of “Home to Harlem,” Claude McKay’s rollicking novel of Harlem nightlife. McKay’s book, Du Bois wrote, “for the most part nauseates me, and after the dirtier parts of its filth I feel distinctly like taking a bath.” Similar sentiments have greeted 21st-century street lit. In a 2006 New York Times Op-Ed essay, the journalist and author Nick Chiles decried “the sexualization and degradation of black fiction.” African-American bookstores, Chiles complained, are “overrun with novels that . . . appeal exclusively to our most prurient natures — as if these nasty books were pairing off back in the stockrooms like little paperback rabbits and churning out even more graphic offspring that make Ralph Ellison books cringe into a dusty corner.”
Copulating paperbacks aside, it’s clear that the street-lit debate is about more than literature, touching on questions of paternalism versus populism, and on middle-class anxieties about the black underclass. “It’s part and parcel of black elites’ efforts to define not only a literary tradition, but a racial politics,” said Kinohi Nishikawa, an assistant professor of English and African-American Studies at Princeton University. “There has always been a sense that because African-Americans’ opportunities to represent themselves are so limited in the first place, any hint of criminality or salaciousness would necessarily be a knock on the entire racial politics. One of the pressing debates about African-American literature today is: If we can’t include writers like Ashley & JaQuavis, to what extent is the foundation of our thinking about black literature faulty? Is it just a literature for elites? Or can it be inclusive, bringing urban fiction under the purview of our umbrella term ‘African-American literature’?”
Defenders of street lit note that the genre has a pedigree: a tradition of black pulp fiction that stretches from Chester Himes, the midcentury author of hardboiled Harlem detective stories, to the 1960s and ’70s “ghetto fiction” of Iceberg Slim and Donald Goines, to the current wave of urban fiction authors. Others argue for street lit as a social good, noting that it attracts a large audience that might otherwise never read at all. Scholars like Nishikawa link street lit to recent studies showing increased reading among African-Americans. A 2014 Pew Research Center report found that a greater percentage of black Americans are book readers than whites or Latinos.
For their part, the Colemans place their work in the broader black literary tradition. “You have Maya Angelou, Alice Walker, James Baldwin — all of these traditional black writers, who wrote about the struggles of racism, injustice, inequality,” says Ashley. “We’re writing about the struggle as it happens now. It’s just a different struggle. I’m telling my story. I’m telling the struggle of a black girl from Flint, Michigan, who grew up on welfare.”
Photo
The Colemans in their new four-bedroom house in the northern suburbs of Detroit.Credit Courtesy of Ashley and JaQuavis Coleman
Perhaps there is a high-minded case to be made for street lit. But the virtues of Ashley & JaQuavis’s work are more basic. Their novels do lack literary polish. The writing is not graceful; there are passages of clunky exposition and sex scenes that induce guffaws and eye rolls. But the pleasure quotient is high. The books flaunt a garish brand of feminism, with women characters cast not just as vixens, but also as gangsters — cold-blooded killers, “murder mamas.” The stories are exceptionally well-plotted. “The Cartel” opens by introducing its hero, the crime boss Carter Diamond; on page 9, a gunshot spatters Diamond’s brain across the interior of a police cruiser. The book then flashes back seven years and begins to hurtle forward again — a bullet train, whizzing readers through shifting alliances, romantic entanglements and betrayals, kidnappings, shootouts with Haitian and Dominican gangsters, and a cliffhanger closing scene that leaves the novel’s heroine tied to a chair in a basement, gruesomely tortured to the edge of death. Ashley & JaQuavis’s books are not Ralph Ellison, certainly, but they build up quite a head of steam. They move.
The Colemans are moving themselves these days. They recently signed a deal with St. Martin’s Press, which will bring out the next installment in the “Cartel” series as well as new solo series by both writers. The St. Martin’s deal is both lucrative and legitimizing — a validation of Ashley and JaQuavis’s work by one of publishing’s most venerable houses. The Colemans’ ambitions have grown, as well. A recent trilogy, “Murderville,” tackles human trafficking and the blood-diamond industry in West Africa, with storylines that sweep from Sierra Leone to Mexico to Los Angeles. Increasingly, Ashley & JaQuavis are leaning on research — traveling to far-flung settings and hitting the books in the libraries — and spending less time mining their own rough-and-tumble past.
But Flint remains a source of inspiration. One evening not long ago, JaQuavis led me on a tour of his hometown: a popular roadside bar; the parking lot where he met the undercover cop for the ill-fated drug deal; Ashley’s old house, the site of his almost-arrest. He took me to a ramshackle vehicle repair shop on Flint’s west side, where he worked as a kid, washing cars. He showed me a bathroom at the rear of the garage, where, at age 12, he sneaked away to inspect the first “boulder” of crack that he ever sold. A spray-painted sign on the garage wall, which JaQuavis remembered from his time at the car wash, offered words of warning:
WHAT EVERY YOUNG MAN SHOULD KNOW
ABOUT USING A GUN:
MURDER . . . 30 Years
ARMED ROBBERY . . . 15 Years
ASSAULT . . . 15 Years
RAPE . . . 20 Years
POSSESSION . . . 5 Years
JACKING . . . 20 YEARS
“We still love Flint, Michigan,” JaQuavis says. “It’s so seedy, so treacherous. But there’s some heart in this city. This is where it all started, selling books out the box. In the days when we would get those little $40,000 advances, they’d send us a couple boxes of books for free. We would hit the streets to sell our books, right out of the car trunk. It was a hustle. It still is.”
One old neighborhood asset that the Colemans have not shaken off is swagger. “My wife is the best female writer in the game,” JaQuavis told me. “I believe I’m the best male writer in the game. I’m sleeping next to the best writer in the world. And she’s doing the same.”
William Sokolin, Wine Seller Who Broke Famed Bottle, Dies at 85
The bottle Mr. Sokolin famously broke was a 1787 Château Margaux, which was said to have belonged to Thomas Jefferson. Mr. Sokolin had been hoping to sell it for $519,750.