saco-indonesia.com, Bukan rahasia umum lagi jika akhir-akhir ini listrik sering mati mendadak karena ada pemadaman bergilir atau
saco-indonesia.com, Bukan rahasia umum lagi jika akhir-akhir ini listrik sering mati mendadak karena ada pemadaman bergilir atau karena ada kerusakan pada peralatan milik PLN yang telah diakibatkan faktor oleh cuaca. Seringkali pemadaman telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama sehingga kita tidak dapat melakukan kegiatan apapun yang berhubungan dengan peralatan listrik baik di rumah maupun di kantor. Jika kegiatan tersebut hanya bersifat hiburan, kita tentu dapat menahan diri dan sedikit bersabar. Akan tetapi, jika kegiatan tersebut berhubungan dengan kegiatan bisnis, misalnya bisnis online dengan penggunaan komputer dan modem internet yang telah membutuhkan aliran listrik, maka kerugian yang akan ditanggung selama pemadaman tersebut bisa mencapai angka yang cukup besar.
Melayangkan pengaduan atau keluhan kepada PLN mungkin bisa dilakukan, akan tetapi solusi yang akan diharapkan belum tentu bisa cepat terealisasi terutama untuk masalah yang cukup besar. Hal iniliah yang membuat banyak orang telah memilih untuk membeli genset atau portable generator sebagai sumber energi listrik cadangan ketika aliran listrik tengah padam. Apa saja yang perlu diperhatikan sebelum kita membeli genset? Mari kita simak poin-poin penting berikut!
Tips Membeli Genset
Menghitung seberapa besar daya yang akan kita butuhkan. Dengan penghitungan yang lebih baik, kebutuhan listrik kita juga akan tetap terpenuhi sekalipun kita tengah menggunakan genset. Kita juga dapat menghitungnya dengan memperhatikan alat-alat apa saja yang biasa kita gunakan di rumah seperti jumlah lampu, komputer, TV, lemari es, dan lain-lain. Jika ingin lebih mudah, kita hanya perlu memperhatikan kapasitas daya listrik yang telah kita miliki di rumah. Yang paling perlu diperhatikan adalah pemilihan genset dengan daya yang sama atau lebih besar dari yang telah kita miliki.
Memperhatikan jenis genset berdasarkan bahan bakarnya. Pemilihan genset dengan bahan bakar yang berbeda mungkin tidak terlalu berpengaruh kepada jumlah biaya yang harus kita keluarkan untuk dapat membeli bahan bakar tersebut mengingat harga bensin dan solar relatif sama. Akan tetapi, pemilihan genset dengan memperhatikan jenis bahan bakarnya juga dapat memberikan kita petunjuk tentang besar kapasitas daya yang telah dihasilkan. Biasanya, genset dengan kapasitas besar (4000 watt ke atas). Oleh karena itu, anda dapat mengeliminasi pilihan ini jika anda membutuhkan genset untuk kebutuhan rumah tangga.
Memilih model genset berdasarkan ukuran dan tingkat kebisingan. Kita mungkin tidak memiliki ruangan yang cukup luas untuk dapat meletakkan genset yang kita beli di rumah. Dengan demikian, memilih genset yang berukuran kecil juga merupakan solusi yang terbaik walaupun seringkali ukuran fisik genset berbanding lurus dengan kapasitasnya. Produsen genset juga telah memberikan pilihan yang cukup variatif mengenai suara yang telah dihasilkan oleh mesin tersebut. Pilihan produk dengan tingkat kebisingan rendah adalah yang paling masuk akal untuk digunakan di rumah.
Menyesuaikan produk yang diinginkan dengan kondisi keuangan. Nah, ini adalah aspek yang paling penting menurut sebagian besar orang. Lalu, kenapa aspek ini harus ada di urutan ke-empat? Kita bisa saja membeli produk yang murah. Akan tetapi, jika kita melihat kembali seberapa penting fungsi genset untuk dapat mendukung aktifitas kita, membeli genset atas dasar harga yang murah bisa jadi cukup beresiko. Ketika kita salah dalam menentukan pilihan hanya karena harga murah yang ditawarkan, hal ini juga dapat berakibat pada tidak maksimalnya fungsi genset tersebut sehingga kita membutuhkan yang baru dengan kapasitas lebih besar dan harga yang lebih mahal.
Di luar kebutuhan kita akan genset yang seringkali mendesak ketika listrik padam, kita tentu berharap pasokan listrik dari PLN dapat kita nikmati dengan nyaman dan stabil. Semoga tips ini bermanfaat.
Editor : Dian Sukmawatid
Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) dinilai inkonsisten dalam menyikapi kebijakan pemerintah.
JAKARTA, Saco-Indonesia.com — Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
dinilai inkonsisten dalam menyikapi kebijakan pemerintah. Sebagai partai koalisi, PKS diminta
tidak merongrong pemerintah hanya untuk menarik simpati masyarakat.
"Koalisi itu
kan dengan niat baik, kesamaan visi, bukan sebaliknya merongrong pemerintah di saat rakyat
memerlukan bantuan," kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf seusai
menghadiri rapat Sekretariat Gabungan (Setgab) di rumah dinas Wakil Presiden Boediono, Menteng,
Jakarta Pusat, Selasa (4/6/2013) malam. Dalam rapat tersebut, hanya pimpinan PKS yang tak hadir di antara semua
partai dalam koalisi pendukung pemerintah.
Sekretaris Fraksi PKS di DPR Abdul Hakim
mengatakan, ketidakhadiran pimpinan PKS dalam rapat tersebut semata karena alasan teknis. Pada saat
rapat digelar, Presiden PKS Anis Matta sedang ada kegiatan di Jombang, Jawa Timur. Terlebih
lagi, ujar dia, semula undangan rapat ditujukan pada pimpinan fraksi, tetapi kemudian dibatalkan
sehingga, imbuh dia, pimpinan fraksi yang wonsemula akan menghadiri pertemuan juga membatalkan
kehadirannya.
Agenda pertemuan Setgab ini adalah membahas rencana pemerintah menaikkan
harga bahan bakar minyak (BBM), pemberian bantuan langsung sementara miskin (BLSM) sebagai
kompensasi, dan konsolidasi koalisi. Rapat ini digelar sesuai arahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Menyikapi ketidakhadiran PKS dalam rapat, Nurhayati mengatakan sudah kebal
dengan polah partai itu. Dia pun mengecam langkah PKS yang pada satu sisi menyatakan menolak
kenaikan harga BBM dengan alasan membela rakyat, tetapi di sisi lain tetap bergabung di gerbong
partai koalisi pendukung pemerintah.
Nurhayati enggan menghakimi atau mengusulkan agar
PKS hengkang dari koalisi. Sebagai partai cerdas, PKS dianggapnya mampu bersikap lebih
konsisten, termasuk menentukan keputusan bersama partai koalisi. "Tidak perlu diusulkan
(untuk keluar koalisi). Kalau sudah tidak bisa bersama, apa harus dipertahankan?" ujar
dia.
Editor
:Liwon Maulana(galipat)
From sea to shining sea, or at least from one side of the Hudson to the other, politicians you have barely heard of are being accused of wrongdoing. There were so many court proceedings involving public officials on Monday that it was hard to keep up.
In Newark, two underlings of Gov. Chris Christie were arraigned on charges that they were in on the truly deranged plot to block traffic leading onto the George Washington Bridge.
Ten miles away, in Lower Manhattan, Dean G. Skelos, the leader of the New York State Senate, and his son, Adam B. Skelos, were arrested by the Federal Bureau of Investigation on accusations of far more conventional political larceny, involving a job with a sewer company for the son and commissions on title insurance and bond work.
The younger man managed to receive a 150 percent pay increase from the sewer company even though, as he said on tape, he “literally knew nothing about water or, you know, any of that stuff,” according to a criminal complaint the United States attorney’s office filed.
The success of Adam Skelos, 32, was attributed by prosecutors to his father’s influence as the leader of the Senate and as a potentate among state Republicans. The indictment can also be read as one of those unfailingly sad tales of a father who cannot stop indulging a grown son. The senator himself is not alleged to have profited from the schemes, except by being relieved of the burden of underwriting Adam.
The bridge traffic caper is its own species of crazy; what distinguishes the charges against the two Skeloses is the apparent absence of a survival instinct. It is one thing not to know anything about water or that stuff. More remarkable, if true, is the fact that the sewer machinations continued even after the former New York Assembly speaker, Sheldon Silver, was charged in January with taking bribes disguised as fees.
It was by then common gossip in political and news media circles that Senator Skelos, a Republican, the counterpart in the Senate to Mr. Silver, a Democrat, in the Assembly, could be next in line for the criminal dock. “Stay tuned,” the United States attorney, Preet Bharara said, leaving not much to the imagination.
Even though the cat had been unmistakably belled, Skelos father and son continued to talk about how to advance the interests of the sewer company, though the son did begin to use a burner cellphone, the kind people pay for in cash, with no traceable contracts.
That was indeed prudent, as prosecutors had been wiretapping the cellphones of both men. But it would seem that the burner was of limited value, because by then the prosecutors had managed to secure the help of a business executive who agreed to record calls with the Skeloses. It would further seem that the business executive was more attentive to the perils of pending investigations than the politician.
Through the end of the New York State budget negotiations in March, the hopes of the younger Skelos rested on his father’s ability to devise legislation that would benefit the sewer company. That did not pan out. But Senator Skelos did boast that he had haggled with Gov. Andrew M. Cuomo, a Democrat, in a successful effort to raise a $150 million allocation for Long Island to $550 million, for what the budget called “transformative economic development projects.” It included money for the kind of work done by the sewer company.
The lawyer for Adam Skelos said he was not guilty and would win in court. Senator Skelos issued a ringing declaration that he was unequivocally innocent.
THIS was also the approach taken in New Jersey by Bill Baroni, a man of great presence and eloquence who stopped outside the federal courthouse to note that he had taken risks as a Republican by bucking his party to support paid family leave, medical marijuana and marriage equality. “I would never risk my career, my job, my reputation for something like this,” Mr. Baroni said. “I am an innocent man.”
The lawyer for his co-defendant, Bridget Anne Kelly, the former deputy chief of staff to Mr. Christie, a Republican, said that she would strongly rebut the charges.
Perhaps they had nothing to do with the lane closings. But neither Mr. Baroni nor Ms. Kelly addressed the question of why they did not return repeated calls from the mayor of Fort Lee, N.J., begging them to stop the traffic tie-ups, over three days.
That silence was a low moment. But perhaps New York hit bottom faster. Senator Skelos, the prosecutors charged, arranged to meet Long Island politicians at the wake of Wenjian Liu, a New York City police officer shot dead in December, to press for payments to the company employing his son.
Sometimes it seems as though for some people, the only thing to be ashamed of is shame itself.