Fenomena kejahatan telah terjadi di Indonesia makin hari nampaknya tidak menunjukkan penurunan berarti. Menurut telaah dua akademisi, yakni Romli Atmasasmita dan Muhammad Mustofa, malah jenis kejahatan di Indonesia makin beragam.
Fenomena kejahatan telah terjadi di Indonesia makin hari nampaknya tidak menunjukkan penurunan berarti. Menurut telaah dua akademisi, yakni Romli Atmasasmita dan Muhammad Mustofa, malah jenis kejahatan di Indonesia makin beragam.
Romli juga menjelaskan ihwal makin banyaknya jenis tindak kriminal yang dijalankan di Indonesia salah satunya telah dipicu oleh faktor gagalnya penegakan hukum. Sebabnya adalah, lanjut akademisi Universitas Padjadjaran itu, fungsi penjara hanya diartikan sebagai tempat membayar ganjaran atas perbuatan kejahatan seseorang atau kelompok, ketimbang membangkitkan kembali rasa penyesalan mereka dan mendorongnya menjadi pribadi yang lebih baik selepas menjalani masa tahanan.
"Makanya peneliti dari luar senang riset di sini. Di Indonesia kejahatan apa sih yang tidak ada? Semua ada. Dari terorisme sampai korupsi. Negara ini jadi laboratorium kejahatan," kata Romli dalam diskusi 'Setengah Abad Sistem Pemasyarakatan,' di Gedung Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Romli juga telah mengingatkan, beragamnya tindak kriminal di Indonesia juga tak lepas dari fenomena kejahatan antarnegara (transnational crime). Dia juga mengatakan, mestinya pemerintah sadar akan bahayanya hal itu dan bakal mengancam masyarakat jika tidak diantisipasi.
Sementara itu Mustofa juga mengatakan, demi untuk menekan kejahatan yang beranak pinak, negara sebagai institusi tertinggi juga harus bisa membuat sebuah keadaan yang tidak memungkinkan sebuah kriminalitas berkembang. Caranya adalah memenuhi hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara adil dan merata, sesuai janji Undang-Undang Dasar 1945.
"Sejahterakan dulu masyarakat, baru ada alasan untuk dapat memberikan sanksi kalau terjadi pelanggaran," ujar Mustofa yang merupakan pengajar di Universitas Indonesia.
Wanita
paruh baya ini tidak kuasa berdiri, tubuhnya kurus kering, perutnya terlihat membesar seperti
orang hamil tua.
MAGELANG, Saco-Indonesia.com — Wanita paruh
baya ini tidak kuasa berdiri, tubuhnya kurus kering, perutnya terlihat membesar seperti orang
hamil tua. Ya, karena kondisi itu, Tasminati (40), warga Dusun Sabrang, Margoyoso, Salaman,
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, hanya bisa termangu lemas di kamar rumah kayunya.
Sejak dua tahun terakhir ia hampir tidak pernah merasakan dan melihat indahnya dunia luar.
"Saya ingin sembuh, bisa bekerja dan beribadah lagi, saya juga ingin merawat anak saya
hingga besar," tutur Tasminati sambil menyeka air mata dari mata butanya akibat penyakit
herpes yang tak kunjung sembuh, Selasa (4/6/2013) kemarin.
Ibu dari Muyasaroh (6,5)
itu sendiri tidak tahu persis penyakit apa yang dideritanya. Dokter hingga ahli akupuntur yang
pernah memeriksanya mengatakan ia terkena komplikasi penyakit liver, limpa, pembuluh darah,
maag, serta ususnya luka. "Awalnya dulu perut dan tenggorokan terasa panas. Waktu itu saya
masih umur usia 25 tahun. Tapi saya biarkan saja. Sampai saya kena herpes waktu bertani di
sawah," kisah wanita kelahiran Magelang, 31 Desember 1973 itu.
Meskipun kena
herpes, Tasminati tetap bisa mengandung buah hatinya bersama suaminya, Sarmono (38). Tasminati
menikah dengan Sarmono di usia 32 tahun. Namun, selama kehamilannya itu, Tasminati sering
muntah darah bahkan kerap mengalami sakit yang luar biasa di perut. Akibatnya,Tasminati
terpaksa melahirkan lebih awal di bulan keenam.
"Waktu itu saya sempat dirawat di
RS Muntilan dan dirujuk ke RS Sardjito Yogyakarta. Saya pendarahan hebat. Dikira saya keguguran
tapi ternyata itu darah penyakit," papar Tasminati.
Alih-alih perut mengempis,
perut Tasminati justru makin membesar usai melahirkan. Sejak itu pun Tasminati tidak mampu
bekerja lagi sebagai buruh pabrik kayu. "Jangankan bekerja, melakukan pekerjaan rumah
tangga untuk melayani suami dan anak pun saya tidak sanggup," ujar Tasminati lagi dengan
suara parau.
Hingga saat ini, kataTasminati, ia belum pernah melakukan pengobatan
untuk kondisi perutnya. Pengobatan masih terfokus pada herpes di matanya. Beruntung tahun 2012
lalu dirinya masih mendapat keringanan biaya pengobatan melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas). Namun, entah bagaimana, tahun 2013 ini dirinya tidak mendapat pelayanan itu.
"Kami masih kesulitan mencari biaya pengobatan. Penghasilan suami saya yang hanya
buruh pabrik hanya untuk kebutuhan sehari-hari saja," tutur Tasminati.
Menurut
Tasminati, pihak keluarga dan aparat desa setempat pernah mengusulkan agar ia mendapat
Jamkesmas 2013. Namun, hingga saat ini usulan itu belum terwujud.
Sementara itu,
Yohana, bidan desa setempat yang memberikan pendampingan intensif pada Tasminati mengatakan
selama ini penyakit Tasminati belum tertangani dengan baik. Salah satu sebabnya adalah faktor
ekonomi. "Dia itu sebetulnya punya semangat untuk sembuh. Tapi sering ketakutan untuk
berobat karena tidak punya uang," ungkap Yohana.
Yohana berharap pemerintah
setempat memberikan perhatian pada Tasminati. Program Jamkesmas juga diharapkan lebih bisa
tepat sasaran.
Kepala Dusun Sabrang, Zarkoni, ketika dikonfirmasi mengatakan sudah
pernah mengusahakan dan mendampingi Tasminati mendapatkan Jamkesmas lagi. "Kami sudah
membantu sebisa mungkin. Saat ini kami masih upayakan untuk mendapatkan Jamkesmas," tandas
Zakoni.
****
Informasi penyaluran bantuan untuk Mimin, hubungi:
redaksikcm@kompas.com
Editor :Liwon Maulana
Sumber:Kompas.com
WASHINGTON — During a training course on defending against knife attacks, a young Salt Lake City police officer asked a question: “How close can somebody get to me before I’m justified in using deadly force?”
Dennis Tueller, the instructor in that class more than three decades ago, decided to find out. In the fall of 1982, he performed a rudimentary series of tests and concluded that an armed attacker who bolted toward an officer could clear 21 feet in the time it took most officers to draw, aim and fire their weapon.
The next spring, Mr. Tueller published his findings in SWAT magazine and transformed police training in the United States. The “21-foot rule” became dogma. It has been taught in police academies around the country, accepted by courts and cited by officers to justify countless shootings, including recent episodes involving a homeless woodcarver in Seattle and a schizophrenic woman in San Francisco.
Now, amid the largest national debate over policing since the 1991 beating of Rodney King in Los Angeles, a small but vocal set of law enforcement officials are calling for a rethinking of the 21-foot rule and other axioms that have emphasized how to use force, not how to avoid it. Several big-city police departments are already re-examining when officers should chase people or draw their guns and when they should back away, wait or try to defuse the situation