MAU UMROH BERSAMA TRAVEL TERBAIK DI INDONESIA ALHIJAZ INDO WISTA..?

Paket Umroh Reguler, paket umroh ramadhan, paket umroh Turki, Paket Umroh dubai dan beberapa paket lainya

Jadwal Umroh Kami ada disetiap minggu, agar  lebih detail Anda bisa tanyakan detail ttg program kami, Sukses dan Berkah Untuk Anda

YOOK LANGSUNG WHATSAPP AJA KLIK DISINI 082124065740

Biro Perjalanan Umroh Plus Desember 2015 di Jakarta Pusat Hubungi 021-9929-2337 atau 0821-2406-5740 Alhijaz Indowisata adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak di bidang tour dan travel. Nama Alhijaz terinspirasi dari istilah dua kota suci bagi umat islam pada zaman nabi Muhammad saw. yaitu Makkah dan Madinah. Dua kota yang penuh berkah sehingga diharapkan menular dalam kinerja perusahaan. Sedangkan Indowisata merupakan akronim dari kata indo yang berarti negara Indonesia dan wisata yang menjadi fokus usaha bisnis kami.

Biro Perjalanan Umroh Plus Desember 2015 di Jakarta Pusat Alhijaz Indowisata didirikan oleh Bapak H. Abdullah Djakfar Muksen pada tahun 2010. Merangkak dari kecil namun pasti, alhijaz berkembang pesat dari mulai penjualan tiket maskapai penerbangan domestik dan luar negeri, tour domestik hingga mengembangkan ke layanan jasa umrah dan haji khusus. Tak hanya itu, pada tahun 2011 Alhijaz kembali membuka divisi baru yaitu provider visa umrah yang bekerja sama dengan muassasah arab saudi. Sebagai komitmen legalitas perusahaan dalam melayani pelanggan dan jamaah secara aman dan profesional, saat ini perusahaan telah mengantongi izin resmi dari pemerintah melalui kementrian pariwisata, lalu izin haji khusus dan umrah dari kementrian agama. Selain itu perusahaan juga tergabung dalam komunitas organisasi travel nasional seperti Asita, komunitas penyelenggara umrah dan haji khusus yaitu HIMPUH dan organisasi internasional yaitu IATA.

Biro Perjalanan Umroh Plus Desember 2015 di Jakarta Pusat

Eksterior body mobil juga merupakan wajah dari mobil tersebut. Dari situlah awalnya orang akan menilai sebuah mobil. Selain bent

Eksterior body mobil juga merupakan wajah dari mobil tersebut. Dari situlah awalnya orang akan menilai sebuah mobil. Selain bentuk dan model body plus aksesoriesnya, warna mobil juga merupakan komponen penting pada penampilan mobil.

Banyak hal yang dapat merusak penampilan warna mobil misalnya adanya luka pada panel mobil yang mengupas cat. Jika hal ini telah terjadi pemilik mobil pasti akan segera membawa mobilnya ke bengkel body repair untuk memperbaikinya. Terkadang tidak lagi mempertimbangkan biaya perbaikanya demi hasil yang maksimal.

Namun banyak pemilik mobil yang belum memahami teknologi pengecatan di bengkel. Umumnya masih menganggap bahwa pengecatan di bengkel sama dengan teknologi di pabrik baik bahan cat maupun metode pengerjaanya. Padahal dengan kondisi yang berbeda diperlukan teknologi aplikasi yang berbeda pula.

Teknologi OEM dan REFINISH

Teknologi pengecatan di pabrik dengan yang ada di bengkel jelas berbeda sehingga bahan dan material yang digunakan pun sangat berbeda. Pada proses pengecatan di pabrik dikondisikan untuk mass production sehingga bahan yang digunakan memang didesain khusus yang disebut dengan cat OEM ( Original Equipment Manufacture ). Bahan cat ini dioperasikan oleh robot pada suhu diatas 100 derajat Celcius. Hal ini juga dapat dilakukan karena body mobil dalam kondisi kosong tanpa interior.

Metode penyemprotanya dengan elektostatik dimana body telah diberi muatan listrik sehingga debu cat yang disemburkan oleh nozzle robot dapat diserap oleh plat body. Hasilnya cat akan menempel rata dengan ketebalan yang rata pula. Dengan pemanasan pada suhu tinggi maka proses pengeringan berlangsung lebih cepat dengan demikian proses assembling di depannya dapat langsung dilakukan.

Sedangkan pada proses pengecatan di bengkel pada prinsipnya adalah memperbaiki cat dari pabrik. Pada proses pengerjaan juga ada kendala dimana interior mobil sudah terisi dan rangkaian listrik sudah terpasang. Dengan demikian diperlukan teknologi yang berbeda dengan yang dilakukan di pabrik. Teknologi ini disebut Refinish.

Namun demikian pada bengkel-bengkel Authorized Dealer teknoloi refinish yang diterapkan biasanya sudah distandarisasi oleh pabikan pembuat mobil tersebut. Contohnya adalah Bengkel Body Repair & Paint Center PT. Nasmoco Purwokerto sebagai bengkel Authorized TOYOTA memiliki standar baku pengecatan mobil TOYOTA.

Proses Step by Step

Proses demi proses akan dilakukan sesuai dengan karakteristik mobil TOYOTA. Mulai dari perbaikan panel ( kenteng ) hingga proses pengecatan. Setelah proses kenteng selesai dilanjutkan pada proses persiapan permukaan. Proses ini adalah persiapan panel sebelum dilakuakn pengecatan yang meliputi proses primer, pendempulan, epoxy dan masking. Setelah proses tersebut dilakukan barulah masuk ke pengecatan ( top coat ).

Proses ini umumnya akan memakan waktu lebih dari 1 hari untuk bisa mendapatkan kualitas yang baik. Dan setiap tahapan poses harus melalui pengontrollan kualitas. Hal ini akan menjadi penting karena jika terjadi problem pada salah satu proses tersebut maka akan dapat mengakibatkan kerusakan di hasil akhirnya.

Dan hanya teknisi yang sudah terlatih yang dapat melakukannya. Itulah sebabnya penting untuk membawa mobil ke bengkel resminya. Karena teknisinya sudah dilatih untuk menangani mobil tersebut mulai dari hal yang paling sepele hingga yang paling sulit sekalipun.

 

Bekasi, Saco-Indonesia.com - Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Arie Budhiman mengatakan, masyarakat dan turis dapat menggunakan bus tingkat wisata tanpa menggunakan tiket.

Bekasi, Saco-Indonesia.com - Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Arie Budhiman mengatakan, masyarakat dan turis dapat menggunakan bus tingkat wisata tanpa menggunakan tiket. Meskipun gratis, tetap ada pengelolaan tiket. Tiket dapat diperoleh di pusat perbelanjaan maupun hotel.

"Evaluasi tiga bulan pertama tanpa tiket, belum pakai tiket gratis," kata Arie di Balaikota Jakarta, Kamis (16/1/2014).

Siang tadi, bus tingkat wisata itu telah resmi dikenalkan kepada publik di Bundaran Hotel Indonesia (HI). Adapun uji coba pengoperasiannya akan dilaksanakan pada akhir pekan ini. Untuk beroperasional secara utuh, Arie menargetkan dapat terealisasi pada akhir Januari.

Kini lima unit bus tingkat wisata itu ditempatkan di pul Cawang. Untuk memulai perjalanan, semua bus tingkat wisata akan parkir di silang barat daya Monas. Pada pukul 09.00 WIB, kelima bus tingkat wisata itu akan mengelilingi Jakarta. Waktu tempuh tiap bus berjarak 30 menit.

Bus-bus wisata itu akan menempuh dua rute. Rute pertama melewati Bundaran HI-Medan Merdeka Barat-Harmoni-Juanda-Gedung Kesenian Jakarta-Gereja Katedral-Masjid Istiqlal-Juanda-Medan Merdeka Utara-Istana Negara-Balaikota-MH Thamrin-Bundaran HI. Adapun rute melalui Bundaran HI-Sudirman-Semanggi-Gatot Subroto-Hotel Sultan-JCC-TVRI-Hotel Mulia-Senayan (Plaza Senayan dan Senayan City-Patung Pemuda-Sudirman-Semanggi-Bundaran HI. Sepanjang rute tersebut, akan ada 10 titik pemberhentian. Di setiap halte tersebut, bus akan berhenti selama satu menit.

Bus tingkat yang didominasi warna ungu dan hijau muda tersebut memiliki panjang 13,5 meter, lebar 2,5 meter, dan tinggi 4,2 meter. Desain double decker lengkap dengan tulisan "Wisata Keliling Ibukota!" dan "City tour Jakarta". Huruf R dan J dalam kalimat city tour Jakarta dibuat menyambung jadi satu. Adapun di bagian belakang terdapat slogan "Enjoy Jakarta". Tak hanya itu, bus double decker itu juga memiliki gambar-gambar Monas, Ondel-ondel, patung Pancoran, patung selamat datang, dan lain-lain.

Warna ungu dan hijau muda sengaja dipilih agar bus itu memiliki ciri khas sendiri dibanding bus sedang lainnya. Warna merah, misalnya, menjadi ciri khas warna bus transjakarta, metromini berwarna oranye, dan bus kopaja berkelir hijau.

Setiap unit bus tingkat wisata berkapasitas 60 tempat duduk dan dua di antaranya diperuntukkan bagi penyandang difabel. Deck dan pintu sengaja dibuat pendek dan berada di sebelah kiri agar ramah untuk kaum difabel dan orang tua. Spesifikasi lain yang membuat bus ini ramah kaum difabel adalah melintas di jalur lambat, bukanlah busway.

Double decker Jakarta berbeda dari bus tingkat di London, Inggris. Atap paling atasnya dibuat tertutup sebab iklim Jakarta berbeda dari London. Di samping itu, faktor kesehatan menjadi unsur penting yang menjadi pertimbangan. Beberapa fasilitas yang dimiliki double decker, seperti pendingin udara, pengeras suara, CCTV, lengkap dengan petugas guide. Di tiap bus akan ada tiga awak, yakni pengemudi, pramuwisata, dan keamanan.

"Dengan adanya bus ini, Jakarta punya daya tarik yang berbeda. Mudah-mudahan Jakarta semakin menarik dan dikunjungi wisatawan," kata Arie.

Sumber : kompas.com

Editor : Maulana Lee

Hockey is not exactly known as a city game, but played on roller skates, it once held sway as the sport of choice in many New York neighborhoods.

“City kids had no rinks, no ice, but they would do anything to play hockey,” said Edward Moffett, former director of the Long Island City Y.M.C.A. Roller Hockey League, in Queens, whose games were played in city playgrounds going back to the 1940s.

From the 1960s through the 1980s, the league had more than 60 teams, he said. Players included the Mullen brothers of Hell’s Kitchen and Dan Dorion of Astoria, Queens, who would later play on ice for the National Hockey League.

One street legend from the heyday of New York roller hockey was Craig Allen, who lived in the Woodside Houses projects and became one of the city’s hardest hitters and top scorers.

“Craig was a warrior, one of the best roller hockey players in the city in the ’70s,” said Dave Garmendia, 60, a retired New York police officer who grew up playing with Mr. Allen. “His teammates loved him and his opponents feared him.”

Young Craig took up hockey on the streets of Queens in the 1960s, playing pickup games between sewer covers, wearing steel-wheeled skates clamped onto school shoes and using a roll of electrical tape as the puck.

His skill and ferocity drew attention, Mr. Garmendia said, but so did his skin color. He was black, in a sport made up almost entirely by white players.

“Roller hockey was a white kid’s game, plain and simple, but Craig broke the color barrier,” Mr. Garmendia said. “We used to say Craig did more for race relations than the N.A.A.C.P.”

Mr. Allen went on to coach and referee roller hockey in New York before moving several years ago to South Carolina. But he continued to organize an annual alumni game at Dutch Kills Playground in Long Island City, the same site that held the local championship games.

The reunion this year was on Saturday, but Mr. Allen never made it. On April 26, just before boarding the bus to New York, he died of an asthma attack at age 61.

Word of his death spread rapidly among hundreds of his old hockey colleagues who resolved to continue with the event, now renamed the Craig Allen Memorial Roller Hockey Reunion.

The turnout on Saturday was the largest ever, with players pulling on their old equipment, choosing sides and taking once again to the rink of cracked blacktop with faded lines and circles. They wore no helmets, although one player wore a fedora.

Another, Vinnie Juliano, 77, of Long Island City, wore his hearing aids, along with his 50-year-old taped-up quads, or four-wheeled skates with a leather boot. Many players here never converted to in-line skates, and neither did Mr. Allen, whose photograph appeared on a poster hanging behind the players’ bench.

“I’m seeing people walking by wondering why all these rusty, grizzly old guys are here playing hockey,” one player, Tommy Dominguez, said. “We’re here for Craig, and let me tell you, these old guys still play hard.”

Everyone seemed to have a Craig Allen story, from his earliest teams at Public School 151 to the Bryant Rangers, the Woodside Wings, the Woodside Blues and more.

Mr. Allen, who became a yellow-cab driver, was always recruiting new talent. He gained the nickname Cabby for his habit of stopping at playgrounds all over the city to scout players.

Teams were organized around neighborhoods and churches, and often sponsored by local bars. Mr. Allen, for one, played for bars, including Garry Owen’s and on the Fiddler’s Green Jokers team in Inwood, Manhattan.

Play was tough and fights were frequent.

“We were basically street gangs on skates,” said Steve Rogg, 56, a mail clerk who grew up in Jackson Heights, Queens, and who on Saturday wore his Riedell Classic quads from 1972. “If another team caught up with you the night before a game, they tossed you a beating so you couldn’t play the next day.”

Mr. Garmendia said Mr. Allen’s skin color provoked many fights.

“When we’d go to some ignorant neighborhoods, a lot of players would use slurs,” Mr. Garmendia said, recalling a game in Ozone Park, Queens, where local fans parked motorcycles in a lineup next to the blacktop and taunted Mr. Allen. Mr. Garmendia said he checked a player into the motorcycles, “and the bikes went down like dominoes, which started a serious brawl.”

A group of fans at a game in Brooklyn once stuck a pole through the rink fence as Mr. Allen skated by and broke his jaw, Mr. Garmendia said, adding that carloads of reinforcements soon arrived to defend Mr. Allen.

And at another racially incited brawl, the police responded with six patrol cars and a helicopter.

Before play began on Saturday, the players gathered at center rink to honor Mr. Allen. Billy Barnwell, 59, of Woodside, recalled once how an all-white, all-star squad snubbed Mr. Allen by playing him third string. He scored seven goals in the first game and made first string immediately.

“He’d always hear racial stuff before the game, and I’d ask him, ‘How do you put up with that?’” Mr. Barnwell recalled. “Craig would say, ‘We’ll take care of it,’ and by the end of the game, he’d win guys over. They’d say, ‘This guy’s good.’”

Mr. Napoleon was a self-taught musician whose career began in earnest with the orchestra led by Chico Marx of the Marx Brothers.

Artikel lainnya »